Tugas RemIsi






   
Disusun Oleh  :


PARADUAN RITONGA
10827003745
Ilmu Hukum 3 / Semt V




JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU- 2010 ®











BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Dalam perkembangannya sejarah di Indonesia banyak sekali perubahan – perubahan hukum yang terjadi di Indonesia. Adapun yang menjadi sorotan publik adalah masalah hukum yang ada dan mengatur tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah tujuan pemidanan Rakyat yang dalam prakteknya banyak sekali hal – hal yang melanggar norma masyarakat serta hukum yang ada. Hal inilah bagi bangsa belanda sebagai penjajah di Negeri Indonesia untuk membuat sebuah peraturan hukum yang mengenal eksistensi dari belanda itu sendiri untuk selama – lama menjajah Indonesia.  Maka dari itulah terbentuk beberapa produk hukum yang bisa melegalkan segala tindakan hukum yang dilakukan oleh belanda baik itu warga belanda yang tinggal di Indonesia maupun warga negara lainnya. Peraturan tersebut termasuk dalam satu jenis hukum yang sama yaitu hukum pidana. Adapun Indonesia dijajah oleh negara jepang, tetapi jepang tidak memberikan perubahan sesuatupun dalam hal hukum yang ada di Indonesia.
  1. Permasalahan
Dari seluruh aspek kajian diatas maka timbulah sebuah pertanyaan mengenai sitem pemberian remisi dan hak-hak atas naapidana dan dasar dari sumber pemberian remisi dan hak-hak atas narapidana.

BAB II
PEMBAHASAN

SISTEM REMISI DAN HAK-HAK NARAPIDANA

A. PENGERTIAN

Remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 1 PP Nomor 32 Th.1999 tentang Syarat dan Tata Cara pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan)
[1]Pengertian Remisi (Kepmenkeh dan HAM No.M.09.HN.02.01 Th.1999) adalah engurangan masa pidana yang diberikan kepada Narapidana atau Anak Pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana. Besarnya Remisi Pertama yang diberikan kepada Narapidana Seumur Hidup yang telah diubah hukumannya menjadi hukuman sementara, adalah sama dengan Remisi bagi Narapidana yang pertama kali mendapat remisi. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan HAM berwenang memberikan Remisi (Pasal 2 Kepmen Kumdang No.M.09.HN.02.01 Th.1999).Pemberian remisi didelegasikan oleh Menteri kepada Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri (Surat Dirjenpas No.E.PS.01.04-04 Tanggal 12 Januari 2000). Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan HAM wajib menyampaikan laporan kepada Menteri cq. Dirjen Pemasyarakatan (Pasal 2 Kepmen Kumdang No.M.09.HN.02.01 Th.1999).

►REMISI DALAM SISTEM PEMASYARAKATAN INDONESIA

Menurut Pasal 1 Ayat 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia No.174 Tahun 1999, remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana. Merujuk pada Keppres tersebut, remisi dihitung pada saat menjalani masa pidana dan tidak dihitung dengan mengakumulasi masa penahanan.[2]


B. DASAR HUKUM PEMBERIAN REMISI[3]
Undang-undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (pasal 14). Keputusan Presiden RI No.174 Tahun 1999 Tentang Remisi.
Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan No.M.09.HN.02-01 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keppres No.174 Tahun 1999 tentang Remisi.
Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No.M.04-HN.02.01 Tahun 2000 tentang Remisi Tambahan bagi Narapidana dan Anak Didik.
Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No.M.03-PS.01.04 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Remisi Bagi Narapidana Yang Menjalani Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara.
Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No.M.01-HN.02.01 Tahun 2001 tentang Remisi Khusus Yang Tertunda dan Remisi Khusu Bersyarat serta Remisi Tambahan.Ada beberapa jenis remisi pada Sistem Pemasyarakatan Indonesia :
  1. Remisi Umum : Pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus.
  2. Remisi Khusus : Pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana pada Hari Besar Keagamaan yang dianut oleh yang bersangkutan dan dilaksanakan sebanyak-banyaknya I (satu) kali dalam setahun bagi masing-masing agama.
  3. Remisi Tambahan : Pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang berbuat jasa kepada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan atau melakukanperbuatan yang membantu kegiatan lembaga pemasyarakatan.

Departemen Hukum dan HAM sebagai payung sistem pemasyarakatan Indonesia, menyelenggarakan sistem pemasyarakatan agar narapidana dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga narapidana dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakatnya, kembali aktif berperan dalam pembangunan serta hidup secara wajar sebagai seorang warga negara.
Saat seorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka hak-haknya sebagai warga negara akan dibatasi. Sesuai Pasal ayat 7 UU.No.12 Tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun terpidana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia

Hak-hak tersebut adalah :
►►►Hak untuk melakukan ibadah
►►►Hak untuk mendapat perawatan rohani dan jasmani
►►►Hak pendidikan
►►►Hak Pelayanan Kesehatan dan makanan yang layak
►►►Hak menyampaikan keluhan
►►►Hak memperoleh informasi
►►►Hak mendapatkan upah atas pekerjaannya
►►►Hak menerima kunjungan
►►►Hak mendapatkan remisi
►►►Hak mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk mengunjungi keluarga
►►►Hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat
►►►Hak mendapatkan cuti menjelang bebas,
►►►serta hak-hak lain sesuai dengan peraturan yang berlaku
►►►Perlu diingat bahwa hak-hak tersebut tidak diperoleh secara otomatis tetapi ►►►dengan syarat atau kriteria tertentu. Sama halnya dengan pemberian remisi.


C. PROSES PEMBINAAN NARAPIDANA [4]
Ada 4 tahap dalam proses pembinaan narapidana Sistem Pemasyarakatan Indonesia. Remisi sudah dapat dihitung semenjak yang bersangkutan yang telah berstatus narapidana menjalani masa pidana atau dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia disebut dengan menjalani proses pembinaan. Dalam tahap pertama menjalankan proses pembinaan terhadap narapidana, lembaga pemasyarakatan melakukan penelitian terhadap hal ikhwal narapidana; sebab dilakukannya suatu pelanggaran. Pembinaan ini dilaksanakan saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) masa pidananya. Pada tahap ini, pembinaan dilakukan didalam lembaga pemasyarakatan dengan pengawasan maksimum. Pada tahap kedua proses pembinaan, setelah yang bersangkutan telah menjalani 1/3 masa pidana yang sebenarnya, serta narapidana tersebut dianggap sudah mencapai cukup kemajuan maka kepada narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan yang lebih banyak dan ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan dalam pengawasan medium security. Yang dimaksud dengan narapidana telah menunjukkan kemajuan disini adalah dengan terlihatnya keinsyafan, perbaikan diri, disiplin dan patuh pada peraturan tata-tertib yang berlaku di Lembaga. Setelah menjalani 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya, maka wadah proses pembinaan diperluas dengan asimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari 2 bagian yaitu yang pertama waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan 1/2 dari masa pidananya. Pada tahap ini pembinaan masih dilaksanakan di dalam Lapas dengan sistem pengawasan menengah (medium security). Tahap kedua dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 masa pidananya. Dalam tahap lanjutan ini narapidana sudah memasuki tahap asimilasi dan selanjutnya dapat diberikan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas dengan pengawasan minimum. Setelah proses pembinaan telah berjalan selama 2/3 masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan, maka pembinaan dalam tahap ini memasuki pembinaan tahap akhir. Pembinaan tahap akhir yaitu berupa kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan selesainya masa pidana. Pada tahap ini, bagi narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat. Pembinaan dilakukan diluar Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang kemudian disebut pembimbingan Klien Pemasyarakatan


Tujuan Pemidanaan[5]

  1. Pemikiran tentang tujuan pemidanaan
Mengenai tentang tujuan pemidanan yang dianut dewasa ini sebenarnya bukan merupakan pemikiran baru, melainkan sedikit banyak telah mendapat pengaru dari pemikir-pemikir atau pakar-pakar hokum beberapa abad lalu, yaitu tentang DASAR PEMBENARAN (RECH PARDIGINGS GROND)

Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan tujuan pemidanan yaitu mencakup hal-hal sebagai berikut.

a.       memperbaiki pribadi diri si penjahatnya itu sendiri.
b.      Membuat orang menjadi jera melakukan kejahatan-kejahatan
c.       Membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain yakni penjahat-penjahat dengan cara-cara lain sudah tidak dapat diperbaiki kembali




Besarnya Remisi Yang Diberikan Kepada Narapidana dan Anak Pidana
1. Remisi Umum (17 Agustus)

a. Tahun Pertama apabila telah menjalani 6 bulan s/d 12 bulan, besarnya remisi 1 bulan.
b. Tahun Pertama apabila telah menjalani lebih dari 12 bulan, besarnya remisi 2 bulan.
c. Tahun Kedua, besarnya remisi 3 bulan.
d. Tahun Ketiga, besarnya remisi 4 bulan.
e. Tahun keempat, besarnya remisi 5 bulan.
f. Tahun kelima, besarnya remisi 5 bulan.
g. Tahun keenam, besarnya remisi 6 bulan.
h. Tahun ketujuh dan seterusnya, besarnya remisi 6 bulan

2. Remisi Khusus (Idul Fitri, Natal, Nyepi dan Waisak)

Tahun Pertama apabila telah menjalani pidana 6 bulan sampai dengan 12 bulan, diberikan remisi sebesar 15 hari.
Apabila telah menjalani 12 bulan atau lebih, diberikan remisi sebesar 1 bulan.
Tahun kedua dan ketiga, diberikan masing-masing 1 bulan.
Tahun keempat dan kelima , diberikan masing-masing 1 bulan 15 hari.
Tahun keenam dan seterusnya, diberikan remisi 2 bulan.


3. Remisi Tambahan

a. Berbuat jasa pada negara :
Membela negara secara moral, material dan fisik dari serangan musuh. Membela negara secara moral, material dan fisik terhadap pemberontakan yang berupaya memecah belah atau memisahkan diri dari Negara Kesatuan RI. Besarnya remisi : 1/2 dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang bersangkutan.

b. Melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan. enemukan inovasi yang berguna untuk pembangunan bangsa dan negara RI. urut serta mengamankan Lapas atau Rutan apabila terjadi keributan atau huru hara. Turut serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan bencana alam di lingkungan Lapas, Rutan atau wilayah sekitarnya. Menjadi donor darah 4 (empat) kali atau salah satu organ tubuh bagi orang lain. Besarnya remisi yang diberikan sebesar 1/2 dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang bersangkutan.

c. Melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lapas atau Rutan. Pemuka kerja. Melakukan pendidikan dan pengajaran kepada sesama narapidana dan anak didik. Besarnya remisi yang diberikan 1/3 dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang bersangkutan Dengan mengetahui cara menghitung pemberian remisi maka masyarakat dapat membuat estimasi angka remisi. Angka remisi yang didapat tentunya akan mengurangi jumlah masa hukuman seorang narapidana, serta membuat seorang narapidana dapat lebih cepat kembali kepada keluarga dan masyarakatnya sebagai warga negara yang baik, menyongsong masa depan yang lebih baik


D. PENGERTIAN REMISI KHUSUS TERTUNDA[6]

Pengertian Remisi Khusus Tertunda (Kepmenkah dan HAM No.N.01.HN.02.01 Th.2001) adalah Remisi Khusus yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang pelaksanaan pemberiannya dilakukan setelah ybs berubah statusnya menjadi Narapidana dan besarnya maksimal 1 (satu) bulan. Maksud pengertian Remisi Khusus Tertunda bahwa pelaksanaan pemberian Remisi Khusus bagi Narapidana dan Anak Pidana tersebut tertunda karena ybs masih berstatus sebagai terpidana, walaupun surat Keputusan Hakim (Vonis) ybs telah mempunyai kekuatan hukum tetap (terpidana maupun Jaksa Penuntut Umum tidak mengajukan upaya hukum berupa banding atau kasasi) tetapi Jaksa Penuntut Umum belum menyampaikan surat keputusan Hakim (Vonis) ybs kepada pihak Lapas sehingga status terpidana belum berubah menjadi Narapidana atau Anak Pidana (Keputusan Presiden RI No 174 Tahun 1999).















STUDY KASUS I

MENOLAK REMISI UNTUK KORUTOR[7]

Pemerintah masih setengah hati dalam upaya pemberantasan korupsi. Buktinya, beberapa terpidana kasus korupsi mendapat remisi dalam rangka HUT ke-65 Republik Indonesia.

Beberapa koruptor yang mendapat remisi adalah Aulia Tantowi Pohan (korupsi aliran dana BI), mantan Bupati Kendal Hendy Boedoro (terpidana korupsi APDB Kendal), dan Artalyta Suryani (terpidana suap terhadap jaksa).

Pemerintah terkesan tidak konsisten dalam pemberian remisi. Dapat kita amati dari pernyataan Menteri Hukum dan HAM. Menurut Patrialis Akbar, untuk tahun ini napi kasus korupsi tak memperoleh remisi (Kompas, 12/8). Namun, kemudian mengendur dengan memberikan remisi kepada terpidana korupsi dengan alasan semua orang yang memenuhi kategori kualifikasi haknya harus diberikan negara (Kompas.com, 17/8).

Sebenarnya, salahkah memberi remisi untuk koruptor? Jika melihat dasar hukumnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang tata cara pelaksanaan hak bina pemasyarakatan tidak salah. Dalam peraturan tersebut terdapat pasal yang menerangkan syarat khusus pemberian remisi tindak pidana terorisme, narkotika, korupsi, kejahatan terhadap negara, kejahatan HAM, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga pidana.

Sangat disayangkan, dalam pemberian remisi Menteri Hukum dan HAM tidak melihat dampak yang akan ditimbulkan. Dampak yang akan ditimbulkan adalah aspek jera dan pro-kontra di masyarakat. Korupsi akan terus merajalela jika tidak diberikan hukuman yang menyebabkan aspek jera. Sementara pro- kontra akan terus bergulir ketika pemerintah tidak segera merevisi PP No 28/2006 yang mengatur tentang pemberian remisi untuk terpidana kasus korupsi.

Sikap tegas agar tercipta rasa jera perlu diberikan pemerintah kepada koruptor, hal ini karena kasus korupsi terus meningkat. Lihat saja rilis Indonesia Corruption Watch (ICW) semester I-2010, tercatat sebanyak 176 kasus. Terdiri dari 144 yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dengan kerugian negara Rp 2,1 triliun. Angka ini jauh meningkat dari indeks pada tahun sebelumnya, 2009, yaitu 86 kasus, 217 tersangka dengan kerugian negara hanya Rp 1,17 triliun. Kerugian negara semester I-2010 meningkat hampir 100 persen dari tahun 2009.

Salah satu cara memberikan efek jera adalah dengan tidak memberikan remisi kepada koruptor. Sebenarnya pemberian remisi kepada koruptor sempat mendapat perhatian serius dari ICW tahun 2009. Hal ini terkait remisi yang diberikan kepada 46 koruptor yang masih menjalani masa hukuman di Lembaga Permasyarakatan Kelas I Cipinang. ICW menolak pemberian remisi kepada tahanan korupsi dan mengimbau pemerintah untuk merevisi peraturan pemberian remisi PP No 28/2006. Tahun ini permasalahan ternyata masih sama.

Efek jera
Argumentasi tuntutan penolakan pemberian remisi kepada koruptor bukanlah diskriminatif atau bahkan melanggar HAM. Sebab, tuntutan penolakan pemberian remisi untuk koruptor mempunyai beberapa alasan kuat. Pertama, tindakan korupsi melanggar HAM. Korupsi yang dilakukan Wali Kota Magelang Fahriyanto untuk pengadaan buku ajar menghalangi hak untuk mengenyam pendidikan mudah dan murah.

Kedua, pemberian remisi adalah sikap yang tidak mendukung gerakan antikorupsi dan merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi. Akan menjadi omong kosong jika pada periode kedua kekuasaan Presiden SBY, ia masih memberikan remisi kepada terpidana korupsi.




Sejauh ini, semua pihak termasuk pemerintah mengakui bahwa korupsi adalah kejahatan yang telah laten di Indonesia. Bahkan, Prof Saldi Isra mengatakan, sudah tidak terbantahkan, korupsi benar-benar menjadi ancaman laten terhadap keberlangsungan negeri ini. Namun, apa yang telah dilakukan Presiden?

Kita bisa lihat betapa ragu Presiden menyikapi masalah penggembosan KPK yang menyeret Bibit-Chandra dalam ranah hukum. Sampai sekarang masalah ini sampai berlarut-larut dan menjadi misteri, siapa yang salah dan siapa yang benar. Bahkan, untuk menyelesaikan masalah rekening tidak wajar para perwira Polri pun, Presiden belum mampu diharapkan.

Presiden belum mampu memimpin pemberantasan korupsi dengan baik. Alih-alih meningkatkan pemberantasan korupsi, Kapolri dan Jaksa Agung malah menciptakan kontroversi. Misteri di mana call data records antara terdakwa Ary Muladi dan Deputi Penindakan KPK Ade Raharja belum terjawab. Jika berlarut-larut, polemik ini akan semakin meresahkan masyarakat.

Akhirnya masyarakat hanya bisa berharap kepada Presiden jangan sampai lupa dengan janji akan pemberantasan korupsi. Sebab, yang saat ini terjadi adalah semangat dan upaya pemberantasan korupsi terus melemah. Oleh karena itu, pemberian remisi serta merevisi PP No 28/2006 juga akan menjadi tolok ukur, apakah Presiden SBY masih memiliki komitmen dan sikap tegas terhadap pemberantasan korupsi atau tidak.










STUDY KASUS II

Pro Kontra Remisi Koruptor dan Teroris
Di tengah upaya pemerintah (kepolisian) mengungkap jaringan teroris di Indonesia setelah melakukan penyergapan di Temanggung dan kemudian merilis (19/08/2009) empat tersangka baru pengebom JW Marriot dan Ritz-Carlton yaitu Syaifuddin Zuhri, Mohamad Syahrir, Ario Sodarso dan Bagus Budi Pranoto.
Pemerintah melalui Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM pada tanggal 17 Agustus 2009 justru mengeluarkan kebijakan remisi (pengurangan masa hukuman) bagi terpidana kasus terorisme, kebijakan yang sama juga diberikan kepada terpidana kasus korupsi, padahal upaya untuk memberantas dan memberikan efek jera kepada koruptor yang sangat merugikan negara sangat gencar dilakukan diberbagai daerah.

 Pemberian remisi bagi terpidana kasus terorisme dan korupsi menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan. Apakah sudah tepat kebijakan remisi bagi narapidana teroris? Apalagi rilis empat tersangka pengebom JW Marriot dan Ritz-Carlton oleh Kepolisian salah seorang diantaranya sudah pernah dihukum atas kasus terorisme alias orang lama. Kekhawatiran tentu muncul ketika Dirjen Pemasyarakatan DepKum dan HAM memberikan remisi bagi 7 (tujuh) orang narapidana kasus terorisme sehingga bertolak belakang dengan semangat pemberantasan tindak pidana terorisme.

 Pendapat yang sama juga diutarakan bagi terpidana kasus korupsi yang mendapatkan remisi pada Hari Kemerdekaan kemarin, diantaranya Wakil Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menilai pemberian remisi khususnya bagi terpidana kasus korupsi justru bertentangan dengan gerakan pemerintah memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, pemberantasan korupsi yang dilakukan secara luar biasa hendaknya efek jera yang diberikan kepada narapidananya pun harus secara luar biasa.




Dasar Hukum

Jika merujuk pada dasar hukum pemberian remisi yaitu Undang-Undangan No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2006 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan tidak ada yang salah dengan pemberian remisi kepada narapidana kasus teroris dan terorisme pada Hari Ulang Tahun Ke-64 Republik Indonesia.

Berdasarkan Pasal 14 UU Pemasyarakatan salah satu hak terpidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), dalam dalam PP No.28 Tahun 2006 sebagai aturan pelaksana ketentuan UU Pemasyarakatan diatur mengenai syarat khusus pemberian remisi bagi terpidana tindak pidana terorisme, narkotika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya yaitu berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana.

Jika melihat semangat dan keinginan untuk memberikan efek jera bagi terpidana kasus terorisme dan korupsi, PP No.28 Tahun 2006 tersebut sudah dianggap lebih baik dari PP sebelumnya yang mengatur syarat pemberian remisi bagi seluruh terpidana adalah setelah menjalani masa hukuman selama 6 (enam) bulan termasuk terpidana kasus terorisme dan korupsi. Dalam ketentuan perundang-undangan tersebut juga mengatur bahwa pemberian remisi tidak berlaku bagi narapidana yang mendapatkan hukuman mati atau hukuman seumur hidup.






BAB III
KESIMPULAN

Sebagai mahluk social manusia tidak luput dari rasa yang tidak sesuai dengan kehendaknya, yang tidak sesuai dengan nalurinya, namun dengan adanya manusia berdampingan satu sama lain maka itu akan meringankan beban dari mahluk individualisme tersebut. Begitu juga seharusnya dengan pemimpin-pemimpin kita seharusnya mereka meminta solusi dan aturan apa yang patut bagi penjahat yang telah mencoreng agama dan merampas hak-hak atas rakyat..seperti pelaku korusi dan terorisme
Kekhawatiran publik atas pemberian remisi bagi terpidana kasus terorisme dan korupsi masih ada benarnya, selain karena syarat pemberian remisi tersebut dapat saja dimanfaatkan oleh narapidana untuk berkelakuan baik selama menjalani masa pidana di Lembaga Pemasyarakatan, kemudian mendapat remisi dan setelah menikmati kebebasan mengulangi kejahatan yang sama juga dikarenakan penjatuhan sanksi pidana (pemidanaan) bagi terpidana kasus terorisme dan korupsi belum menimbulkan efek jera bagi pelaku.
 Ungkapan ini ternyata tak berlebihan, dalam kasus terorisme misalnya jika melihat salah satu dari empat tersangka pengebom JW Marriot dan Ritz-Carlton yang dirilis kepolisian (19/08/09) yaitu Bagus Budi Pranoto alias Urwah dikenal sebagai mantan terpidana kasus terorisme karena terbukti ikut membantu menyembunyikan Azahari dan Noordin M Top dalam kasus peledakan di Hotel JW Marriott tahun 2003, Dalam kasus korupsi lain lagi, efek jera pemidanaan bagi terpidana kasus korupsi dirasakan masih belum efektif, selain karena mendominasinya hukuman yang  ringan diberikan kepada pelaku tindak pidana korupsi sehingga dengan menerima remisi terpidana korupsi tidak perlu waktu lama untuk menghirup udara bebas kembali, juga kecenderungan bebasnya terdakwa kasus korupsi di Pengadilan Negeri. Data ICW melansir bahwa selama 5 (lima) tahun terakhir ada 1.643 terdakwa kasus korupsi yang diseret ke pengadilan  812 terdakwa diantaranya divonis bebas artinya 50,57% terdakwa korupsi divonis bebas.


►►►Testimony penulis

Pemasyarakatan
Remisi merupakan hak bagi setiap narapidana yang merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem peradilan pidana (criminal justice system), menghilangkannya justru  telah merusak tatanan sistem peradilan pidana Indonesia didalam KUHAP mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan sampai pada lembaga pemasyarakatan. Karena remisi merupakan hak yang timbul ketika narapidana berada dalam lembaga pemasyarakatan.

Kebijakan untuk menghapus remisi bagi terpidana kasus terorisme dan korupsi bukanlah  solusi yang tepat untuk memberikan efek jera kepada terpidana dan khalayak ramai untuk tidak melakukan kejahatan serupa.

Menurut hemat penulis, kebijakan pemberian remisi kepada narapidana kasus terorisme dan korupsi-lah yang harus ditinjau dan dipertimbangkan secara mendalam oleh Menteri Hukum dan HAM. Pertama, pertimbangan rekomendasi pemberian remisi harus lebih diperketat, tidak haya berasal dari Dirjen Pemasyarakatan DepKum dan HAM tetapi juga mempertimbangkan rasa keamanan dan ketertiban umum serta rasa keadilan masyarakat. Kedua, melalui revisi UU Pemasyarakatan dan PP No.28 Tahun 2006 terutama menyangkut syarat khusus pemberian remisi bagi narapidana kasus teorisme dan korupsi. 


SEKIAN TERIMAKASIH
Wassalamu alaikum warohmatullohi wabarokhatu…

Penulis




DAFTAR PUSTAKA


Sistem pelaksanaan pidana penjara di Indonesia,     Penulis         Dwidja Priyatno, Indonesia Penerbit Refika Aditama, 2006

Asli dari Universitas Michigan Didigitalkan   28 Okt 2008 ISBN     9791073015, 9789791073011 Tebal 265 halaman

Tindak Pidana Korupsi di Indoesia: Normatif, Teoritis, Praktik, dan Masalahnya, Lilik Mulyadi, Cetakan I, 2007, Tebal: xvi + 420 halaman, Penerbit PT Alumni, Bandung
Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik, Teknik Penyusunan, dan Permasalahannya, Lilik Mulyadi, Cetakan I, 2007, Tebal xvi + 426 halaman, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomer 5 tahun 1987 tentang Pengurangan Masa Menjalani Pidana (remisi).Penerbit          s.n., 1987

www.Hokum online.com diambil hari selasa jam 14.12
http://www.advokatku.com. pengurangan masa tahanan (remisi) diambil hari selasa jam 14.43
bemmelen Van JMr.Hukum Pidana I Bina Cipta,Bandung 1986
rusmilawati.wordpress.com/.../remisi-untuk-tindak-pidana-korupsi-dan-terorisme diambil pada Hari, Rabu pukul 22.33




[1] Pengertian remisi Kepmenkeh dan HAM no.M.09.HN.02.01.Th 1999 pemberian remisi didelegasikan oleh mentri kepada kepala kantor wilayah atas nama mentri.
[2] Kep presiden Republik Indonesia no. 174 th 1999
[3] Sistem pelaksanaan pidana penjara di Indonesia,   Penulis Dwidja Priyatno, Indonesia Penerbit Refika Aditama, 2006

[4] Proses perkara pidana.bag I.edisi III Dr. Laden Marpaung SH penerbit sinar grafita (buku ini mengkaji panjang lebar masalah ruang lingkup proses perkara pidana dan pemidanaan 2009.
[5] Ibid 78
[6] http//www.hukum.online.comremisi khusus tertunda
[7] Apung Widadi Apprentice Program di Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Kompas, 21 Agustus 2010

Tag : STudy Of Law
0 Komentar untuk "Tugas RemIsi"
Back To Top