HukuM Pajak



  

Disusun Oleh  :


PARADUAN RITONGA
10827003745
Ilmu Hukum 3 / Semt V




JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU- 2010 ®


A. PAJAK
1. Arti Pajak
Pengertian pajak ada bermacam-macam, yang lain dikemukakan oleh para sarjana, yang oleh Santoso Brotodhardjo, S.H. (1982 : 2) yaitu :
a.                           Definisi Leroy Beaulieu yang berbunyi : “Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak, yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja Pemerintah”.
b.                           Definisi Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (RAO-1919) :“Pajak adalah bantuan uang secara insidental atau secara periodic (dengan tidak ada  ontraprestasinya), yang dipungut oleh Badan yang bersifat Umum (Negara), untuk mempeloreh pendapatan,dimana terjadi suatu Tatbestand (sasaran pemajakan), yang karena undang-undang telah menimbulkan hutang pajak”.
c.                           Definisi Prof Edwin R.A. Seligman.“Tax is a compulsory contribution from the person, to the government to defray the expenses incurred in the common interest of all, without reference to special benefit conferred”.Banyak terdengar keberatan atas kalimat “without reference” karena bagaimana juga uang pajak tersebut digunakan untuk produksi barang dan jasa benefit diberikan kepada masyarakat, hanya tidak mudah ditunjukkannya, apabila secara perorangan.
d.                          Definisi Prof. Dr. M J. H. Smeets :“Pajak adalah prestasi kepada Pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran Pemerintah”.
e.                           Definisi Dr. Soeparman Soemahamidjaja :“Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh Penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.”
f.                            Definisi Prof DR. P. J. A. Adriani : “Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan,dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.





2. Ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak.
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan diatas, tersimpul ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak yaitu :
a. Pajak dipungut berdasarkan dengan kekuatan Undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
b.Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi individual oleh pemerintah.
c. Pajak dipungut oleh Negara (baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah).
d.Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran Pemerintah, yang bila dari pemasukkannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.
e. Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgeter, yaitu mengatur.

3. FUNGSI PAJAK.
Fungsi pajak ada dua :
a. Fungsi Anggaran (Fungsi Budgetair) ialah fungsi pajak disektor publik, merupakan suatu alat atau sumber untuk memasukkan uang dari masyarakat berasarkan undang-undang ke Kas Negara, hasilnya untuk membiayai pengeluaran umum Negara.








PAJAK SUBYEKTIF DAN PAJAK OBYEKTIF

(A) Pajak Subyektif
Pajak subyektif ialah pajak yang memperhatikan pertamatama keadaan pribadi wajib pajak; untuk menetapkan pajaknya harus ditemukan pajak; untuk menetapkan pajaknya harus ditemukan alasan-alasan yang obyektif yang berhubungan dengan keadaan materialnya, yaitu yang disebut gaya pikulnya. Contoh : Pajak Penghasilan, (Orang Pribadi).Hubungan antara pajak dan wajib pajak (subyek pajak) adalah langsung oleh karena besarnya Pajak Penghasilan yang harus dibayar tergantung kepada gaya pikulnya, pada pajak-pajak subyektif ini keadaan pribadi wajib pajak sangat mempengaruhi besar kecilnya jumlah pajak yang terhutang. Mengenai keadaan diri wajib pajak sebagai dasar menghitung gaya pikul di atur dalam Pasal 7 Undang-undang PPh, yaitu dalam bentuk Penghasilan Tidak Kena Pajak (P.T.K.P.), sebagai berikut :
a. Untuk diri Wajib Pajak Rp. 2.880.000,-
b. Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin Rp. 1.440.000,-
c. Tambahan untuk seorang isteri yang mempunyai penghasilan dari usaha atau dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lain Rp. 2.880.000,-
d. Tambahan untuk setiap orang keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.Rp. 1.440.000,-

(B) Pajak Obyektif
Pajak obyektif ialah pajak yang pertama-tama melihat obyeknya yang selain dari pada benda, dapat pula berupa keadaan, perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar, kemudian dicari subyeknya (orang atau badan hukum) yang bersangkutan  langsung, dengan tidak mempersoalkan apakah subyek ini berkediaman di Indonesia atau tidak. Subyek yang mempunyai hubungan hukum tertentu dengan obyek itulah yang ditunjuk sebagai subyek yang harus membayar pajak. Contoh : Pajak Penghasilan Wajib Pajak luar negeri.



HUKUM PAJAK

3.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh
Pemungutan pajak di Indonesia tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang tetapi harus berdasarkan Undang-undang; hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 23A ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-Undang”.
Dalam modul ini akan diuraikan tentang pengertian Hukum Pajak, pembagian Hukum Pajak, Kedudukan Hukum Pajak, Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum lainnya serta penafsiran dalam Hukum Pajak.
A. PENGERTIAN HUKUM PAJAK
Apabila seseorang ingin mempelajari suatu ilmu, maka orang tersebut, perlu mengetahui apa arti atau definisi dari ilmu yang akan dipelajarinya itu agar mudah memahami apa yang terkandung dalam ilmu itu. Definisi dalam ilmu hukum seperti dalam ilmu sosial lainnya tidak ada yang pasti, tetapi bermacam-macam, sesuai dengan sudut pandang masing-masing sarjana yang membuat definisi tersebut. Namun dalam bermacam-macam bunyi definisi itu, intinya akan sama. R. Santoso Brotodihardjo, S.H., (1986 : 1) menyatakan bahwa “Hukum Pajak yang disebut juga Hukum Fiskal, adalah keseluruhan dan peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah, untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui Kas Negara, sehingga ia merupakan bagian dari Hukum Publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antar negara dan orang-orang atau badan-badan (Hukum) yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya disebut Wajib Pajak)”.Di dalam Hukum Pajak memuat pula unsur-unsur Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, Hukum Perdata dan lainlain. Prof. DR. H. Rochmat Soemitro, S.H., (1977 : 23) menyatakan bahwa  “Hukum Pajak ialah suatu kumpulan peraturan-peraturan yangmengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak”.

Hukum Pajak merupakan suatu bagian dari Hukum Tata Usaha Negara, yang didalamnya  termuat juga anasir-anasir Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata dan lain-lain.





B. KEDUDUKAN HUKUM, PAJAK DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA
Secara umum Hukum terbaggi atas Hukum Publik dan Hukum Perdata. Hukum Publik  Mencakup Hukum Pidana dan Hukum Tantra yang meliputi Hukum Tata Negara dan Hukum Tata Negara. Hukum Perdata mencakup Hukum Perdata arti sempit (B.W. = Burgelijke Wetboek) dan Hukum Dagang (W.v.K = Wetboek van Koophandel). Hukum Publik ialah hukum yang mengatur hubungan Hukum antara Pemerintah dengan warganya, sedangkan Hukum Perdata ialah Hukum yang mengatur hubungan Hukum antara perorangan di dalam masyarakat. Hukum Tata Usaha Negara atau Hukum Administrasi Negara ialah segenap peraturan hukum yang mengatur segala cara kerja dan pelaksanaan wewenang yang langsung dari lembaga-lembaga Negara serta aparaturnya dalam melaksanakan tugasnya masing-masing. (Hukum Tata Usaha Negara Materil). Hukum pajak merupakan bagian dari Hukum Tata Usaha Negara, namun Prof. Adriani menghendaki bahwa Hukum Pajak berdiri sendiri merupakan suatu ilmu pengetahuan yang terlepas dari Hukum Tata Usaha Negara karena Hukum Pajak mempunyai tugas yang bersifat lain daripada hukum administratif pada umumnya, yaitu hukum pajak juga digunakan sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian dan mempunyai istilah-istilah tersendiri di bidang perpajakan. Namun kemandirian Hukum Pajak, umumnya dirasakan kurang tepat karena seolah-olah menyatakan bahwa Hukum Pajak berdiri terlepas dari hukumhukum lainnya, padahal Hukum Pajak mempunyai hubungan dengan hukum lain seperti Hukum Perdata, Hukum Pudana, Prof. Adriani menyatakan bahwa Hukum Pajak mendasarkan tafsirannya atas bagianbagian lainnya dari Ilmu Hukum, tetapi ia tidak berdiri di bawah telapak kakinya.  Hukum Perdata (BW) Hukum Tata Negara Hukum Dagang (W.V.K) Hukum Tata Usaha Negara Hukum Pajak Hukum Pidana

C. PEMBAGIAN HUKUM PAJAK
Pembagian Hukum Pajak ke dalam Hukum Pajak Material dan Hukum Pajak Formal penting sekali, seperti halnya Hukum Pidana atau Hukum Perdata. Hukum Pidana terbagi ke dalam Hukum Pidana Material dan Hukum Pidan Formal (Hukum Acara Pidana) dan Hukum Perdata ke dalam Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata. Di dalam Undang-undang Pajak yang lama seperti Ordonansi PPd 1944, Ordonasi PKK 1932 dan Ordonansi PPs 1925, ketentuan
Material dan Formal ada di dalam Undang-undang pajak itu sendiri. Dengan adanya pembaharuan perundang-undnagan perpajakan sejak awal 1984 Hukum Pajak Material dan Hukum Pajak Formal terpisah dan diatur dalam Undang-undang tersendiri.
a). Hukum Pajak Material
Hukum Pajak Material, ialah Hukum Pajak yang memuat norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatanperbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, sisapa-siapa yang harus dikenakan pajak, berapa besarnya pajak atau dapat dikatakan pula segala sesuatu tentang timbulnya, besarnya, dan hapusnya utang pajak dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak.

Undang-undang pajak yang termasuk dalam Hukum Pajak
Material ialah :
a. Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
b. Undang-undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah
c. Undang-undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
d. Undang-undang No. 13 Taun 1985 tentang Bea Material.

b). Hukum Pajak Formal
Hukum Pajak Formal ialah Hukum Pajak yang memuat peraturan-peraturan mengenai cara-cara Hukum Pajak Material menjadi kenyataan. Hukum ini memuat cara-cara pendaftaran diri untuk
memperoleh NPWP, cara-cara pembukuan, cara-cara pemeriksaan, cara-cara penagihan, hak dan kewajiban Wajib Pajak, cara-cara penyidikan, macam-macam sanksi, dan lain-lain.
Undang-undang Pajak yang termasuk Hukum Pajak Formal ialah :
a. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UNDANGUNDANG No. 16 Tahun 2000.
b. UU No. 19 Tahun 1997 sebagaimana teah diubah dengan UNDANG-UNDANG No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.



D. HUBUNGAN HUKUM PAJAK DENGAN HUKUM PERDATA
Hukum Pajak banyak sekali hubungannya dengan Hukum Perdata, hal ini dapat dimengerti karena Hukum Pajak mencari dasar kemungkinan pemungutan pajak atas dasar peristiwa (kematian, kelahiran), keadaan (kekayaan), perbuatan (jual beli, sewa menyewa) yang diatur dalam Hukum Perdata. Hal ini dijadikan Tesbestand yang dituangkan dalam Undang-undang pajak, dan bila dipenuhi syaratsyaratnya akan menyebabkan seseorang atau badan dikenakan pajak.
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 12
Sebagian Sarjana mengatakan bahwa bukan itu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang erat antara Hukum Pajak dengan Hukum Perdata, melainkan suatu ajaran di bidang hukum yang
menyatakan bahwa lex specialis derogat lex generale, yaitu hukum yang khusus menyimpangkan hukum yang umum.Prof. Mr. W.F. Prins dalam bukunya Het Belastingrescht van
Indonesie, menyatakan bahwa “hubungan erat ini sangat mungkin sekali timbul karena banyak dipergunakan istilah-istilah Hukum Perdata dalam Hukum Pajak walaupun sebagai prinsip harus di pegang teguh, bahwa pengertian-pengertian yang dianut oleh Hukum Perdata tidak selalu dianut dalam Hukum Pajak”. Misalnya mengenai istilah “tempat tinggal” atau domisili, diatur
baik dalam Hukum Perdata maupun dalam Hukum Pajak. Di dalam Hukum Perdata domisili diatur dalam Pasal 17 sampai denagn Pasal 25 BW., sedangkan dalam Hukum Pajak antara lain dalam  Undang-undang lama yaitu Pasal 1 ayat (2) Ordonansi PPh 1932 jo pasal
1 ayat (2) Ordonansi PPd 1944 dan dalam Undang-undang Pajak baru Pasal 2 ayat (5) dan ayat (6) UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.Untuk jelasnya bunyi pasal-pasal tersebut adalah :
1. Pasal 17 B.W. : “Setiap orang dianggap mempunyai tempat tinggalnya dimana ia menempatkan pusat kediamannya. Dalam hal tak adanya tempat tinggal yang demikian, maka tempat kediaman sewajarnya dianggap sebagai tempat tinggal”.
2. Pasal 2 ayat (5) UU. No. 7 Tahun 1983 : “ Seseorang atau suatu badan berada, bertempat tinggal, atau berkedudukan di Indonesia ditentukan menurut keadaan sebenarnya”.
3. Pasal 2 ayat (6) UU No. 7 Tahun 1983 : “Direktur Jenderal Pajak
berwenang menetapkan seseorang atau suatu badan berada, bertempat tinggal atau bertempat kedudukan”.
4. Dengan adanya kedua ketentuan tersebut maka ketentuan yang ada
dalam Hukum Pajak yang dianut oleh Fiskus, karena merupakan ketentuan yang khusus (lex spescialis).
E. PENGARUH HUKUM PAJAK TERHADAP HUKUM PERDATA
Pengaruh Hukum Pajak terhadap hukum Perdata akibat dari Lex specialis derogat lex generale, maka dalam setiap Undang-undang, Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 13 penafsiran yang harus dianut pertama kali adalah yang ada di ketentuan yang khusus. Ketentuan dalam Hukum Pajak mengenyampingkan ketentuan dalam Hukum Perdata, antara lain : Hak majikan memotong Pajak.
a. Di dalam Pasal 16025 B.W. menyatakan bahwa : “Si majikan diwajibkan membayar kepada si buruh upahnya pada waktu yang telah ditentukan”.
b. Di dalam Hukum Pajak diatur baik dalam Undang-undang Pajak lama maupun yang baru. Pasal 23 Ordonansi Pajak Upah dan Pasal 17a Ordomamsi PPd 1944 menyatakan bahwa “majikan diberi hak untuk memotong lebih dahulu Pajak Upaj/PPh Pasal 17a sebelumnya menerima gaji”. Di dalam Pasal 21 UU No. 7 Tahun 1983 dinyatakan pada ayat (1)
“Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dan penyetorannya ke Kas Negara, wajib dilakukan oleh :
a). Pemberi kerja yang membayar gaji, upah dan honorarium dengan nama apapun, sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau orang lain yang dilakukan dindonesia.
b). Dan seterusnya.Apabila mengamati ketentuan dalam B.W. dan Undang-undang Pajak sepintas seperti bertentangan, B.W. menyatakan majikan wajib membayar gaji kepada si buruh, padahal dalam Undangundang Pajak majikan diberi hak untuk memotong lebih dahulu pajak Upah/PPh 17a sebelum diterimakan gaji, maka dalam hal ini ketentuan dalam Undang-undang pajaknya yang dianut.
F. HUBUNGAN HUKUM PAJAK DENGAN HUKUM PIDANA.
1) Umum
Ancaman Hukuman Pidana tidak saja terdapat dalam K.U.H.P., tetapi banyak juga tercantum dalam Undang-undang di luar K.U.H.P. hal ini disebabkan antara lain :
a. Adanya perubahan sosial secara cepat sehingga perubahan-perubahan itu perlu disertai dan diikuti peraturan-peraturan hokum dengan sanksi pidana
b. Kehidupan moderen semakin kompleks, sehingga disamping adanya peraturan pidana berupa unifikasi yang bertahan lama (KUHP) diperlukan pula peraturan-peraturan pidana yang bersifat
temporer.
c. Pada banyak peraturan hukum yang berupa Undang-undang di lapangan hukum administrasi Negara, perlu di kaitkan dengan sanksi-sanksi pidana untuk mengawasi peraturan-peraturan itu
agar ditaati.
Sanksi-sanksi pidana terdapat dalam Undang-undang di luar KUHP antara lain dalam UU Tindak Pidana Ekonomi, UU Tindak Pidana Subversi, Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Pajak dan lain-lain. Antara K.U.H.P. dengan delik-delik/tindak pidana yang tersebar di luar K.U.H.P. ada pertalian yang terletak dalam Aturan Umum Buku I K.U.H.P. Berlakunya Ketentuan Umum dalam K.U.H.P. tercantum dalam Pasal 103 K.U.H.P. yang berbunyi : “Ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII Buku I juga berlaku bagi tindak pidana yang oleh ketentuan perundangundangan lain diancam dengan pidana, kecuali jika oleh Undangundang ybs. Diatur lain”. Ketentuan Pidana di dalam Undang-undang Perpajakan antara lain diatur dalam Bab VIII Pasal 38 sampai dengan Pasal 43 UNDANG-UNDANG KUP, Bab XIII Pasal 24 sampai dengan Pasal 27 UU PBB dan Bab V Pasal 13 dan Pasal 14 UU Bea Meterai.

2) Sanksi Pidana terhadap pelanggaran atau kejahatan di bidang
perpajakan yang diancam baik dalam KUHP maupun dalam
Undang-undang Pajak.
a. Membuka rahasia / rahasia jabatan..
Pasal 322 KUHP :
(1). Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pekerjaannya, sekarang maupun dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Sembilan ribu rupiah.
(2). Jika kejahatan dilakukan terhadap orang tertentu, maka
perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang lain.

Pasal 41 Undang-undang KUP :
(1). Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahu dan denda paling banyak Rp 4.000.000,- (empat juta rupiah). (2). Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
(3). Penuntutan terhadap) ha tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) nya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar. b. Pemalsuan Surat.
Pasal 263 KUHP.
(1). Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak atau pembebasan hutang atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal,
dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar atau tidak dipalsukan, diancam, jika pemakaian tersebut dapat
menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
(2). Diancam dengan pidana yang sama, barang siap dengan sengaja memakai surat palsu atau dipalsukan, seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Pasal 39 ayat (1) huruf e U.U. KUP.
Setiap orang yang dengan sengaja :
a, b, c, dan seterusnya.
e. Memperhatikan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain
yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar.
f. Dan seterusnya.
Sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar.








3) Ketentuan KUHP yang mengancam tindak pidana di bidang
perpajakan .
a. Menyuap
Pasal 209 KUHP :
(1). Dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-· Barang siapa memberi hadiah atau perjanjian kepada seorang pegawai negeri dengan maksud membujuk dia, supaya dalam pekerjaannyaia berbuat atau mengalpakan sesuatu apa, yang bertentangan dengan kewajibannya; · Barang siapa memberikan hadiah kepada seorang pegawai negeri oleh sebab atau berhubungan dengan pegawai negeri itu sudah membuat atau mengalpakan sesuatu apa dalam menjalankan pekerjaannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
(2). Dapat dijatuhi hukuman Pencabutan hak-hak tertentu (jabatan, ABRI) yang tersebut dalam Pasal 35 No. 1-4 (KUHP.92, 149, 210, 418a). Pasal ini oleh U. U. No. 3 Tahunb 1971 dikategorikan sebagai Tindak Pidana Korupsi.
b. Menerima hadiah/pemberian.
Pasal 418 KUHP :
Pegawai negeri yang menerima hadiah atau perjanjian, sedang ia tahu atau patut dapat menyangka, bahwa apa yang dihadiahkan atau dijanjikan itu berhubungan dengan kekuasaan atau hak karena jabatannya, atau yang menurut pkiran orang yang menghadiahkan atau berjanji itu ada berhubungan dengan jabatan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-(KUHP 35, 36, 92, 309, 419) pasal ini dikategorikan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 419 KUHP :
Dengan hukuman selama-lamanya lima tahun dihukum pegawai negeri :
(1). Yang menerima pemberian atau perjanjian, sedang diketahuinya bahwa pemberian atau perjanjian itu diberikan kepadanya untuk membujuknya supaya dalam jabatannya melakukan atau mengalpakan sesuatu apa yang beerlawanan dengan kewajibannya;
(2). Yang menerima pemberian, sedang diketahuinya, bahwa pemberian itu diberikan kepadanya oleh karena atau berhubungan dengan apa yang telah dilakukan atau dialpakan dalam jabatannya yang berlawanan dengan kewajibannya. (KUHP 35, 36, 92, 209, 418, 420, 437). Pasal ini dikategorikan Tindak Pidana Korupsi.
G. PENAFSIRAN DALAM HUKUM PAJAK
Di dalam memahami suatu ketentuan Undang-undang agar jelas diperlukan suatu penafsiran. Penafsiran hukum ialah suatu upaya yang pada dasarnya menerangkan, menjelaskan, menegaskan baik dalam arti memperluas ataupun membatasi atau mempersempit pengertian hokum yang ada dalam rangka penggunaannya untuk memecahkan masalah atau persoalan yang sedang dihadapi. Cara-cara penafsiran hanya merupakan alat untuk mencoba mengetahui dan memahami arti kadah-kaedah hukum.Macam-macam penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum:
a. Penafsiran tata bahasa (gramatika).
Penafsiran tata bahasa, ialah cara penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan berpedomen pada arti perkataanperkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang, yang dianut ialah semat-mata arti perkataan menurut tata bahasa atau kebiasaan, yakni arti dalam pemakaiansehari-hari.
b. Penafsiran sahih (resmi, autentik) ialah penafsiran yang pasti terhadap kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk Undangundang. Misalnya arti “malam” dalam Pasal 98 KUHP yang berarti waktu antara matahari terbenam dari matahari terbit.
c. Penafsiran histories :
1). Sejarah hukumannya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan
sejarah terjadinya hukum tersebut.
2). Sejarah Undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk undang-undang pada waktu membuat undang-undang itu, misalnya didenda f 10, sekarang ditafsirkan dengan uang R.I.,
sebesar Rp.10,-
d. Penafsiran sistematis (dogmatis).
Penafsiran sistematis ialah penafsiran memiliki susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undangundang itu maupun dengan undang-undang yang lain.
e. Penafsiran sosiologi.
Penafsiran sosiologi yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang-undang. Hal ini penting karena kebutuhan-kebutuhan berubah menurut masa, sedangkan undang-undang tetap saja.
f. Penafsiran ekstensip.
Penafsiran ekstensip ialah penafsiran dengan memperluas arti, katakata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimaksudkan dalam ketentuan itu. Misalnya “aliran listrik termasuk benda”.
g. Penafsiran restriktif.
Penafsiran restriktif ialah penafsiran dengan mempersempit arti kata-kata dalam suatu undang-undang, misalnya “kerugian” tidak termasuk kerugian yang “tak berwujud” seperti sakit, cacat dan lain-lain.
h. Penafsiran analogis.
Penafsiran analogis ialah penafsiran pada suatu hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, kemudian dianggap sesuai dengan bunyi peraturan Tersebut.
i. Penafsiran a contrario.
Penafsiran a contrario ialah suatu cara penafsiran undang-undang yang didasarkan pada lawan dari ketentuan tersebut.Contoh Pasal 34 BW yang menyatakan bahwa seorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum lewat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu  iputuskan. Bagaimana hanya dengan laki-laki ? Tidak berlaku karena kata lakilaki tidak disebutkan. Cara-cara penafsiran sebagaimana telah diuraikan terdahulu pada umumnya berlaku dalam Hukum Pajak, namun penafsiran Undang-undang pajak sering dilihat dengan kaca mata yang istimewa, sehingga sering para sarjana mengatakan sebagai masalah yang luar biasa. Alasannya banyak orang yang berbuat demikian, karena berdasarkan kenyataan, bahwa corak pemungutan pajak berpengaruh besar atas cara-cara penafsiran itu. Mr. Santoso Brotodihardjo, S.H. (1982 : 147), menyatakan bahwa hingga kini yang merupakan titik persengketaan di antara para sarjana adalah penafsiran analogi dalam Hukum Pajak, sekali pun pada gelagatnya pada akhir-akhir ini mereka cenderung kepada pendapat bawa penafsiran semacam ini harus tidak dipergunakan dalam penafsiran perundang-undangan pajak.Berdasarkan Pasal 23 Ayat (2) UUD 1945 bahwa segala pajak untuk keperluan Negara berdasarkan Undang-undang. Artinya bahwa tidaklah sekali-kali diperkenankan memungut pajak selain berdasarkan Undang-undang. Maksud dari ketentuan ini agar wajib pajak tidak diperlakukan semena-mena oleh Fiskus.
Drs. Arif Surojo, M. Hum / PHP 20

Tag : STudy Of Law
0 Komentar untuk "HukuM Pajak"
Back To Top